Kamis, 28 Mei 2009

Sajak Firdaus Muhammad

Biru langit
(
kepada yang memanggilmu)
Aku melihatmu
membawa permata dari kejauhan
Musim gugur yang melelahkan sepanjang jalan
Seperti kesunyian abadi

Kau maha biru
Uluran tanganmu sekarang untuk
mengenal wajahmu yang ingin kau tawarkan
dalam sepekan atau dalam abad yang bisu

Indah wajahmu yang mewarnai panorama
Ku cium jejakmu lewat keresahan dan kegelisahan
Mencari aromamu. Sendiri.

Hingga tenggelamnya matahari
tak ku temukan juga nama itu
yang hilang dibawa deru
debu

Bandung, 2009

Senja
Lamunan senja menutup cerita
Tersapu dzikir para Nabi di atas sajadah
Matahari menjadi makmum
Awan menjadi Khatib
Beriring untuk kembali keperaduan dan bertafakur

Seperti mata ini
Aku melihat siang
yang puas bermain dengan terik panas
Jeritan anak-anak mungil di desa
menjadi koleksi cerita cinta dalam sajak-sajak ku

Ketika senja aku bertanya di mana matahari?

Bandung, 2008

Takdapat lagi
Aku dapat merasakan keberadaanmu
Ketika ku dengarkan irama-irama sendu
Dari jiwa dan mata hatiku dalam bayang kelabu
Kugali semua kenangan atas keberadaan silam
Mawar impian keluhku menyatu menggigil ngilu
Nafas yang sesak tak dapat lagi mencium namamu

Ya Allah

Aku tak dapat lagi menghadirkanmu dalam
Dzuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh
Selalu lupa asik dengan bunga-bunga kehidupan
yang menyelimuti mata hatiku
Asik dalam pembaringan
Redup menutupi seruanmu
Hingga akhirnya tulangku tak dapat lagi bergerak
Terbujur kaku kembali pada zat
yang mulia dari penciptaanMu.

Bandung, 2009

Cinta semu
Aku memanggilmu sebagai kesunyian
datang, pergi, kembali
Seperti musim
Selalu meninggalkan kenangan

Aku bertanya untuk apa
Mengapa kau ada?

Aku menginginkanmu sebagai keabadian
Bukan musim yang selalu berganti
Namun bagiku adalah kesedihan
Air mata selalu genangi lautan
yang akan menenggelamkan ku dalam samudra luka

Seribu lilin ku nyalakan untuk keberadaanmu yang semu.

Bandung, 2009


Kepada Windar Gusyana
Pada kegelisahanku
Kuhirup udara malam yang dingin dengan secangkir kopi kerinduan
Setiap nafas kucium aromamu dari belayan angin yang melintas
Kuhitung orbit langit yang beredar dengan kelenturannya

Sungguh sempurna pertemuan itu

Aku ingin menuntaskan lelahku sampai di penghujung malam
Mekarlah klodipiaku di taman sorga yang sama-sama kita impikan
Agar subuh tak lagi hilang di telan raja siang
Bila malam telah menyambutmu untuk tidur
Maka akupun menunggumu di garda mimpi
Kabut yang menyelimuti malam
Hamparan keindahan alam raya
Secarik kertas kutuliskan syair-syair untukmu
Kutuangkan kekagumanku akan kebaradaanmu
Kusapa kata demi kata mencatat perjalanan cinta kita
dari waktu ke waktu, musim demi musim
Malam pun semakin larut
Aku terpejam bersama angan yang membayang
Esok jika kau membuka mata
Sapa aku di kehangatan matahari pagi.

Bandung, 2009

Hujan rudal
Israel-Palestina sedang berkabung
Hujan rudal banjiri Gaza
Darah-darah berceceran di jalanan, permukiman dan perkantoran
Yang tak berdosa jadi korban keserakahan penguasa
berebut lahan dan kekuasaan

Tak perduli rumah tuhan

Pasukan berjaga di garis pertahanan
Berbaju besi anti peluru
Siang malamkesunyian menjadi tangisan kegetiran
Tak henti mayat berjatuhan

Kapan pulih kedamayan
Tak ada lagi suara ledakan, tembakan, ketegangan
darah dan mayat yang berceceran.

Bandung, 2009

Perjalanan Doa
Ibu
Tak lagi kudengar suaramu dalam doa
Ketika memimpikan taman sorga firdaus bersamamu
Wahai doa ibu
Cintaku seharum surgamu
Tertindih dalam pilu dan harapku

Ku kaji namamu di udara

Angin -angin dari tanah suci mengabari perjalanan lelah
Setelah kupijakkan kaki di tanah gurun yang kering kasih sayang
Doa yang mengalir menyejukkan tak habis dalam ingatan
Kau tetap seperti udara dalam puisiku sebelumnya
yang memberi ruh dalam perjalanan

Kelelahan selalu berpuncak pada akhir
Yang menepikan bulan sabit tak utuh dalam kesempurnaan
Suara-suara kesunyian membatasi dinding hatiku
Berlari mencari keberadaanmu yang tak kudengar lagi dalam doa.

Bandung, 2008

Pesta mati lampu
Ketika ku tulis sajak dalam gelap
dan cahaya tak kunjung tiba
Namun tak sudahi sunyi di ruang kerja
Kopi asmara yang meredupkan jiwa menjadi kering
dalam cawan kehausan
Ruang kerja kita menutup lembaran bagi surat kabar
yang akan kita layangkan saat kemunculan senja di taman pesta
Namun sebelum pesta itu terusung dalam panggung
Hati ini telah merayakan pesta kematiannya. Tanpa suara.
Tawa canda mengubur cinta dalam kemeriahan bukit cahaya
Suara tetabuhan gendang meradang di telinga
Biola yang menyentuh
Menyatu dalam suara sunyi dalam nada
Kerontang jiwa menjadi rasa yang tak terlepaskan dalam
Pesta mati lampu.

Bandung, 2008


Lukisan seperma
Jika hanya nafsu;

Tubuhmu akan ku ukir dengan cairan seperma
Yang memanjati dinding perbukitan tubuhmu dari setiap lekukan
Membakar keresahan
Membedah tubuh kita menjadi satu kesatuan pergulatan
Menggeram dalam kenikmatan
Hingga akhirnya kita sudahi dengan satu kecupan.

Bandung, 2009

Jika jiwa merdeka
Jika ini yang kalian sebut merdeka
Maka aku ingin mati saja dan terlahir kembali sebagai jiwa
yang tak tau apa-apa
Sebab kemerdekaan bagiku adalah kematian sempurna bagi penindasan
dan kesemena-menaan
dan bukan kelahiran mutan-mutan penjajah
dalam rupa yang lebih halus dan sulit di bedakan bentuknya

Jika ini yang kalian sebut merdeka
Maka aku memilih untuk tidak tumbuh menjadi dewasa
dan mengerti segala warna
Sebab kemerdekaan bagiku
Ketika kain pusaka dwi warna terbentang dan terkembang
memberi warna merah-putih pada kekelabuan angkasa raya
serta menggambarkan pada dunia bahwa negri ini adalah negri merah-putih
Negri berani dan suci
Negri gemah ripah lohjinawi
dan bukan merah-putih yang berjejer di emperan-emperan
Yang diobral di pasar-pasar
Yang bergelantungan di rumah-rumah
dan yang pudar warnanya ketika pesta telah usai

Jika ini yang kalian katakana merdeka
Maka aku memilih untuk menutup mulut, mata dan telinga
Sebab kita masih buta
Sebab kita masih tuli
Sebab kita sudah malas bernyanyi
“BAGIMU NEGRI”

Agustus, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar