Minggu, 31 Mei 2009

Biar langit menghujani permata ke Ceylan
membanjir emas ketambang Toucouleurs
sementara aku bila hidup takkan tak kudapati makanan
dan bila aku mati takkan tak kudapati kuburan
Semangatku semangat raja, jiwaku jiwa yang merdeka
menghinakan diri bagiku sama dengan kafir
Jika punya makanan hari ini
untuk apa kudatangi Zaid dan Amir.
(Imam Asy-Syafi’i)

Kritik Sastra Untuk Negriku

Ocehan Sang Pemikir

Tawa dan cibiran serta sorakan
Begitu kau datang dan menghilang
Seperti mengejek kekalahan the three lions
Kucoba mengerti dengan semua ini
Aku dan tingkah laku para siswa (lainnya?)
Segala masa akan beginikah?
Tanya coba tanya para guru
Adakah para pembimbing mengerti?
Jiwa ini sangat inginkan kedamaian
Acuh, kucoba seolah sibuk sendiri
Menulis ini puisi
Jemari seolah gerak sendiri dan senyumku pun tumpah
Bodohkah mereka? ,buang waktu dengan percuma
Pintar diri yang hina ,menulis beberapa bait kata
AH, sudahlah
Biarkan saja, terserah mereka
Tinggalkan saja toh semuanya bukan apa apa.
5 september 2007.

Tentang Negriku-Kuala Tungkal

SEJARAH KABUATEN TANJUNG JABUNG BARAT-KUALA TUNGKAL
Sebelum abad ke-17 di Tanah Tungkal ini sudah berpenghuni seperti Merlung, Tanjung Paku, Suban yang sudah dipimpin oleh seorang Demong, jauh sebelum datangnya rombongan 199 orang dari Pariang Padang Panjang yang dipimpin oleh Datuk Andiko dan sebelum masuknya utusan Raja Johor.
Kemudian memasuki abad ke-17 ketika itu daerah ini masih disebut Tungkal saja, daerah ini dikuasai atau dibawah Pemerintahan Raja Johor. Dimana yang menjadi wakil Raja Johor di daerah ini pada waktu itu adalah Orang Kayo Depati. Setelah lama memerintah Ornag Kayo Depati pulang ke Johor dan ia digantikan oleh Orang Kayo Syahbandar yang berkedudukan di Lubuk Petai. Setelah Orang Kayo Syahbandar kemudian diganti lagi oleh Orang Kayo Ario Santiko yang berkedudukan di Tanjung Agung (Lubuk petai) dan Datuk Bandar Dayah yang berkedudukan di Batu Ampar, daerahnya meliputi Tanjung rengas sampai ke Hilir Kuala Tungkal atau Tungkal Ilir sekarang.
Memasuki abad ke- 18 atau sekitar tahun 1841-1855 Tungkal dikuasai dan dibawah Pemerintahan Sultan Jambi yaitu Sultan Abdul Rahman Nasaruddin. Pada saat itu kesultanan Jambi mengirim seorang Pangeran yang bernama Pangeran Badik Uzaman ke Tungkal yaitu Tungka Ulu sekarang Kedatangannya disambut baik oleh orang Kayo Ario Santiko dan Datuk Bandar Dayah.
Setelah terbukanya kota Kuala Tungkal maka semakin banyak orang mulai datang, sekitar tahun 1902 dari suku Banjar yang berimigrasi dari Pulau Kalimantan melalui Malaysia. Mereka ini berjumlah 16 orang antara lain : H.Abdul Rasyid, Hasan, Si Tamin gelar Pak Awang, Pak Jenang, Belacan Gelar Kucir, Buaji dan kemudian mereka ini berdatangan lagi dengan jumlah agak lebih besar yaitu 56 orang yang dipimpin oleh Haji Anuari dan iparnya Haji Baharuddin, Rombongan 56 orang ini banyak menetap di Bram Itam Kanan dan Bram Itam Kiri. Selanjutnya datang lagi dari suku Bugis, Jawa, Suku Donok atau Suku Laut yang banyak hidup dipantai/laut, dan Cina serta India yang datang untuk berdagang .
Pada tahun 1901 kerajaan Jambi takluk keseluruhannya kepada Pemerintahan Belanda termasuk Tanah Tungkal khususnya di Tungkal Ulu yang Konteleir jenderalnya berkedudukan di Pematang Pauh. Sehingga pecahlah perperangan antara masyarakat Tungkal ulu dan Merlung dengan Belanda. Karena mendapat serangan yang cukup berat akhirnya pemerintah Belanda mengundurkan diri dan hengkang dari wilayah itu. Perperangan itu dipimpin oleh Raden Usman anak dari Badik Uzaman. Raden Usman kemudian wafat dan dimakamkan di Pelabuhan Dagang.
Selanjutnya muncullah Pemerintahan kerajaan Lubuk Petai yang dipimpin oleh Orang Kayo Usman Lubuk Petai kemudian membentuk pemerintahan baru. Pada waktu itu dibentuklah oleh H.Muhammad Dahlan Orang Kayo yang pertama dalam penyusunan pemerintahan yang baru.
Orang Kayo pertama ini pada waktu itu masih diintip dan diserang oleh rombongan dari Jambi. Ia diserang dan ditembak dirumahnya lalu patah. Maka bernamalah pemerintahan itu dengan Pemerintahan Pesirah Patah sampai zaman kemerdekaan. Dusun-dusun pada pemerintahan Pesirah Patah dan asal mula namanya adalah :
Ø Dusun Lubuk Kambing tadinya berasal dari Benaluh dan Lingkis.
Ø Dusun Sungai Rotan tadinya berasal dari dusun Timong dalam.
Ø Dusun Ranatu Benar tadinya berasal dari Riak Runai dan Air dan Air Talun.
Ø Dusun Pulau Pauh tadinya berasal dari kampung Jelmu pulau Embacang.
Ø Dusun Penyambungan dan Lubuk Terap berasal dari Suku Teberau.Dusun Merlung tadinya berasal dari suku Pulau Ringan yang dibagi lagi dalam beberapa suku yaitu : Pulau Ringan, Kebon Tengah, Langkat, Aur Duri, Kuburan Panjang, Gemuruh, dan Teluk yang tunduk dengan Demong.
Ø Dusun Tanjung Paku tadinya berasal dari Tangga Larik.
Ø Dusun Rantau Badak tadinya berasal dari Dusun Lubuk Lalang dan Tanjung Kemang.
Ø Dusun Mudo tadinya Talang Tungkal dan Lubuk Petai.
Ø Dusun Kuala Dasal yang pada waktu itu belum lahir adalah dusun Pecang Belango.
Ø Dusun Badang tadinya berasal dari Badang Lepang di dalam.
Ø Dusun Tanjung Tayas tadinya berasal dari Bumbung.
Ø Dusun Pematang Pauh.
Ø Dusun Batu Ampar yang sekarang menjadi Pelabuhan Dagang.
Ø Dusun Taman Raja tadinya bernama Pekan atau pasar dari kerajaan Lubuk Petai. Kemudian disebut Taman Raja karena dulunya merupakan tempat pertemuan dan musyawarah raja Lubuk Petai dan raja Gagak.
Ø Dusun Suban tadinya berasal dari Suban Dalam.
Ø Dusun Lubuk Bernai tadinya Tanjung Getting dan Lubuk Lawas.
Ø Dusun Kampung Baru.
Ø Dusun Tanjung Bojo.
Ø Dusun Kebun.
Ø Dusun Tebing Tinggi.
Ø Dusun Teluk Ketapang.
Ø Dusun Senyerang.
Marga Tungkal Ulu :
Ø Pesirah MT.Pahruddin (195 Zaman pemerintahan Orang Kayo H..Muhammad Dahlan berakhir sampai sekitar tahun 1949, kemudian barulah gelar Orang Kayo berubah menjadi Pesirah sekitar tahun 1951. Sebelum Kabupaten Dati II Tanjung Jabung terbentuk, berada dalam Kewedanaan Tungkal yang memimpin beberapa Pesirah. Adapun para Pesirah di tanah tungkal ini dahulunya adalah :1-1953)
Ø Pesirah Daeng Ahmad anak dari H.Dahlan (1953-1959)
Ø Pesirah Zikwan Tayeb (1959-1967)
Ø 1969 masa transisi perubahan marga
Ø Syafei Manturidi (1969-1973)
Ø Adnan Makruf (1974-1982)
Marga Tungkal Ilir :
Ø Raden Syamsuddin (Pemaraf)
Ø M.Jamin
Ø Pesirah H.Berahim
Ø Pesirah Ahmad
Ø Pesirah Asmuni
Ø Pesirah H.M.Taher
Seiring bergulirnya perkembangan zaman berdasarkan keputusan Komite Nasional Indonsia (KNI) untuk Pulau Sumatera di Kota Bukit Tinggi (Sumbar) pada tahun 1946 tanggal 15 April 1946, maka pulau Sumatera di bagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Tengah, Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Selatan, pada waktu itu Daerah Keresidenan Jambi terdiri dari Batanghari dan Sarolangun Bangko, tergabung dalam Provinsi sumatera Tengah yang dikukuhkan dengan undang – undang darurat Nomor 19 Tahun 1957, kemudian dengan terbitnya undang – undang Nomor 61 Tahun 1958 pada tanggal 6 januari 1958 Keresidenan Jambi menjadi Provinsi Tingkat I Jambi yang terdiri dari : Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun Bangko dan Kabupaten Kerinci.
Pada tahun 1965 wilayah Kabupaten Batanghari dipecah menjadi 2 (dua) bagian yaitu : Kabupaten Dati II Batanghari dengan Ibukota Kenaliasam, Kabupaten Dati II Tanjung Jabung dengan Ibukotanya Kuala Tungkal. Kabupaten Dati II Tanjung Jabung diresmikan menjadi daerah kabupaten pada tanggal 10 Agustus 1965 yang dikukuhkan dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1965 (Lembaran Negara Nomor 50 Tahun 1965), yang terdiri dari Kecamatan Tungkal Ulu, Kecamatan Tungkal Ilir dan kecamatan Muara Sabak.
Setelah memasuki usianya yang ke-34 dan seiring dengan bergulirnya Era Desentralisasi daerah, dimana daerah di beri wewenang dan keleluasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, maka kabupaten Tanjung Jabung sesuai dengan Undang-undang No.54 Tanggal 4 Oktober 1999 tentang pemekaran wilayah kabupaten dalam Provinsi Jambi telah memekarkan diri menjadi dua wilayah yaitu :
1. Kabupaten Tanjung Jabung Barat Sebagai Kabupaten Induk dengan Ibukota Kuala Tungkal
2. Kabupaten Tanjung Jabung Timur Sebagai Kabupaten hasil pemekaran dengan Ibukota Pangkalan Bulian.

Kota itu bernama Kuala Tungkal.
Sebuah kota kecil eksotik yang berada di sebelah utara Kota Jambi. Untuk mencapai ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Barat ini dibutuhkan waktu sekitar dua setengah jam dari Kota Jambi dengan menggunakan mobil atau sepeda motor. Kotanya begitu tenang dan suasananya menurut saya sungguh menyentuh. Sebagian besar rumah di kota ini dibangun seperti rumah panggung karena memang Kuala Tungkal merupakan daerah berawa-rawa. Selain rumah panggung, di kota ini juga banyak didirikan rumah bertingkat (empat atau lima) yang digunakan untuk sarang burung walet. Entah berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk membangun rumah-rumah walet tersebut.
Obyek wisata yang bisa kita nikmati di kota ini antara lain, ‘pelabuhan’ Kuala Tungkal, pasar tradisional di pinggir sungai (yang dekat dengan lautnya) dan pusat perbelanjaan barang seken (second).
Di Pelabuhan, anda akan disuguhi suasana alam yang masih asli. Pelabuhannya begitu sederhana. Jalan setapak menuju kapal boat masih menggunakan kayu dan dibangun seperti panggung. Namun demikian banyak pelancong yang memanfaatkan pelabuhan ini untuk pergi menuju pulau Batam bahkan ke negara tetangga, Singapura. Pemandangan pagi dan sore saat sunset dan sunrise sungguh eksotik. Jika air surut, kita dapat melihat binatang-binatang laut seperti kepiting dan ‘ikan’ muncul dari lumpur yang mengelilingi pelabuhan itu.
Pasar tradisionalnya menyuguhkan suasana yang lain. Ikan segar yang dibawa oleh kapal-kapal, setiap pagi dibongkar tak jauh dari pasar yang lagi-lagi dibangun di atas panggung. Udang, kerang, kepiting, dan ikan beraneka ragam akan memuaskan anda yang hobi pada makanan laut.
Selain pasar tradisional, di sepanjang jalan menuju pasar berderet toko-toko yang menjual barang seken. Walaupun belum pernah menemukan sesuatu untuk dibeli, saya sungguh menikmati perjalanan saya keluar masuk toko untuk sekedar melihat-lihat atau mengantar teman berbelanja.
Untuk menjelajahi tiga tempat itu dan merasakan suasana asyik Kota Kuala Tungkal, anda bisa menggunakan becak ’sepeda’ khas kota Kuala Tungkal dan beberapa kota di Sumatera.

Kamis, 28 Mei 2009

Bengkel Teater NGENGADE



Bengkel teater NGENGADE bermarkas di Kuala Tungkal kabupaten Tanjung Jabung Barat, berdiri pada tgl 31 mai 2007 di bawah asuhan teater TONGGAK Jambi. Mengingat sebuah kegelisahan akan sedikitnya pewadahan kreatifitas re-generasi kesenian yang khususnya menggeluti ke-teateran, maka dibentuklah Bengkel Teater NGENGADE sebagai wadah yang mengolah kreatifitas dan kemudiam di apresiasikan. Nanang Maulana yang kerap di sapa bang Nanang sebagai pengajar di sanggar teater tersebut.

Sajak Firdaus Muhammad

Biru langit
(
kepada yang memanggilmu)
Aku melihatmu
membawa permata dari kejauhan
Musim gugur yang melelahkan sepanjang jalan
Seperti kesunyian abadi

Kau maha biru
Uluran tanganmu sekarang untuk
mengenal wajahmu yang ingin kau tawarkan
dalam sepekan atau dalam abad yang bisu

Indah wajahmu yang mewarnai panorama
Ku cium jejakmu lewat keresahan dan kegelisahan
Mencari aromamu. Sendiri.

Hingga tenggelamnya matahari
tak ku temukan juga nama itu
yang hilang dibawa deru
debu

Bandung, 2009

Senja
Lamunan senja menutup cerita
Tersapu dzikir para Nabi di atas sajadah
Matahari menjadi makmum
Awan menjadi Khatib
Beriring untuk kembali keperaduan dan bertafakur

Seperti mata ini
Aku melihat siang
yang puas bermain dengan terik panas
Jeritan anak-anak mungil di desa
menjadi koleksi cerita cinta dalam sajak-sajak ku

Ketika senja aku bertanya di mana matahari?

Bandung, 2008

Takdapat lagi
Aku dapat merasakan keberadaanmu
Ketika ku dengarkan irama-irama sendu
Dari jiwa dan mata hatiku dalam bayang kelabu
Kugali semua kenangan atas keberadaan silam
Mawar impian keluhku menyatu menggigil ngilu
Nafas yang sesak tak dapat lagi mencium namamu

Ya Allah

Aku tak dapat lagi menghadirkanmu dalam
Dzuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh
Selalu lupa asik dengan bunga-bunga kehidupan
yang menyelimuti mata hatiku
Asik dalam pembaringan
Redup menutupi seruanmu
Hingga akhirnya tulangku tak dapat lagi bergerak
Terbujur kaku kembali pada zat
yang mulia dari penciptaanMu.

Bandung, 2009

Cinta semu
Aku memanggilmu sebagai kesunyian
datang, pergi, kembali
Seperti musim
Selalu meninggalkan kenangan

Aku bertanya untuk apa
Mengapa kau ada?

Aku menginginkanmu sebagai keabadian
Bukan musim yang selalu berganti
Namun bagiku adalah kesedihan
Air mata selalu genangi lautan
yang akan menenggelamkan ku dalam samudra luka

Seribu lilin ku nyalakan untuk keberadaanmu yang semu.

Bandung, 2009


Kepada Windar Gusyana
Pada kegelisahanku
Kuhirup udara malam yang dingin dengan secangkir kopi kerinduan
Setiap nafas kucium aromamu dari belayan angin yang melintas
Kuhitung orbit langit yang beredar dengan kelenturannya

Sungguh sempurna pertemuan itu

Aku ingin menuntaskan lelahku sampai di penghujung malam
Mekarlah klodipiaku di taman sorga yang sama-sama kita impikan
Agar subuh tak lagi hilang di telan raja siang
Bila malam telah menyambutmu untuk tidur
Maka akupun menunggumu di garda mimpi
Kabut yang menyelimuti malam
Hamparan keindahan alam raya
Secarik kertas kutuliskan syair-syair untukmu
Kutuangkan kekagumanku akan kebaradaanmu
Kusapa kata demi kata mencatat perjalanan cinta kita
dari waktu ke waktu, musim demi musim
Malam pun semakin larut
Aku terpejam bersama angan yang membayang
Esok jika kau membuka mata
Sapa aku di kehangatan matahari pagi.

Bandung, 2009

Hujan rudal
Israel-Palestina sedang berkabung
Hujan rudal banjiri Gaza
Darah-darah berceceran di jalanan, permukiman dan perkantoran
Yang tak berdosa jadi korban keserakahan penguasa
berebut lahan dan kekuasaan

Tak perduli rumah tuhan

Pasukan berjaga di garis pertahanan
Berbaju besi anti peluru
Siang malamkesunyian menjadi tangisan kegetiran
Tak henti mayat berjatuhan

Kapan pulih kedamayan
Tak ada lagi suara ledakan, tembakan, ketegangan
darah dan mayat yang berceceran.

Bandung, 2009

Perjalanan Doa
Ibu
Tak lagi kudengar suaramu dalam doa
Ketika memimpikan taman sorga firdaus bersamamu
Wahai doa ibu
Cintaku seharum surgamu
Tertindih dalam pilu dan harapku

Ku kaji namamu di udara

Angin -angin dari tanah suci mengabari perjalanan lelah
Setelah kupijakkan kaki di tanah gurun yang kering kasih sayang
Doa yang mengalir menyejukkan tak habis dalam ingatan
Kau tetap seperti udara dalam puisiku sebelumnya
yang memberi ruh dalam perjalanan

Kelelahan selalu berpuncak pada akhir
Yang menepikan bulan sabit tak utuh dalam kesempurnaan
Suara-suara kesunyian membatasi dinding hatiku
Berlari mencari keberadaanmu yang tak kudengar lagi dalam doa.

Bandung, 2008

Pesta mati lampu
Ketika ku tulis sajak dalam gelap
dan cahaya tak kunjung tiba
Namun tak sudahi sunyi di ruang kerja
Kopi asmara yang meredupkan jiwa menjadi kering
dalam cawan kehausan
Ruang kerja kita menutup lembaran bagi surat kabar
yang akan kita layangkan saat kemunculan senja di taman pesta
Namun sebelum pesta itu terusung dalam panggung
Hati ini telah merayakan pesta kematiannya. Tanpa suara.
Tawa canda mengubur cinta dalam kemeriahan bukit cahaya
Suara tetabuhan gendang meradang di telinga
Biola yang menyentuh
Menyatu dalam suara sunyi dalam nada
Kerontang jiwa menjadi rasa yang tak terlepaskan dalam
Pesta mati lampu.

Bandung, 2008


Lukisan seperma
Jika hanya nafsu;

Tubuhmu akan ku ukir dengan cairan seperma
Yang memanjati dinding perbukitan tubuhmu dari setiap lekukan
Membakar keresahan
Membedah tubuh kita menjadi satu kesatuan pergulatan
Menggeram dalam kenikmatan
Hingga akhirnya kita sudahi dengan satu kecupan.

Bandung, 2009

Jika jiwa merdeka
Jika ini yang kalian sebut merdeka
Maka aku ingin mati saja dan terlahir kembali sebagai jiwa
yang tak tau apa-apa
Sebab kemerdekaan bagiku adalah kematian sempurna bagi penindasan
dan kesemena-menaan
dan bukan kelahiran mutan-mutan penjajah
dalam rupa yang lebih halus dan sulit di bedakan bentuknya

Jika ini yang kalian sebut merdeka
Maka aku memilih untuk tidak tumbuh menjadi dewasa
dan mengerti segala warna
Sebab kemerdekaan bagiku
Ketika kain pusaka dwi warna terbentang dan terkembang
memberi warna merah-putih pada kekelabuan angkasa raya
serta menggambarkan pada dunia bahwa negri ini adalah negri merah-putih
Negri berani dan suci
Negri gemah ripah lohjinawi
dan bukan merah-putih yang berjejer di emperan-emperan
Yang diobral di pasar-pasar
Yang bergelantungan di rumah-rumah
dan yang pudar warnanya ketika pesta telah usai

Jika ini yang kalian katakana merdeka
Maka aku memilih untuk menutup mulut, mata dan telinga
Sebab kita masih buta
Sebab kita masih tuli
Sebab kita sudah malas bernyanyi
“BAGIMU NEGRI”

Agustus, 2008